Wednesday, February 8, 2017

Posted by Nova Pungki Nisako at 11:01 PM 1 comments
MAKALAH KASUS KORUPSI TERBESAR DI INDONESIA
“ PT. BPUI (Bahana Pembinaan Usaha Indonesia )
Sudjono Timan ”

Korupsi atau rasuah (dalam bahasa Latin disebut corruptio yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20).

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan wewenang serta fasilitas negara. Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Penyuapan (bribery)
Mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. 
2.     Embezzlement
Merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu. 
3.     Fraud
Merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. 
4.     Extortion
Merupakan tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. 
5.     Favouritism
Adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya. 
6.     Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara. 
7.     Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):
1.     Korupsi ekstortif
Berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. 
2.     Korupsi manipulative
Korupsi ini contohnya permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya. 
3.     Korupsi nepotistic
Yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. 
4.     Korupsi subversive
Merupakan korupsi dengan cara merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi. 
Salah satu contoh korupsi yang akan dibahas adalah Kasus Korupsi PT. BPUI Sudjiono Timan.

 I.         POKOK PERMASAHAN
A.      PENDAHULUAN
Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau dengan sebutan lain PT. Bahana Sekuritas (BPUI) sejak tanggal 4 Maret 1993 sesuai Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. BPUI Nomor 17 tertanggal 8 Mei 1993 yang dibuat dihadapan Notaris Adrian Djuaini, S.H, dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor : tanggal 26 September 1994.

Sudjiono menjadi eksekutif BPUI pertama yang diajukan ke meja hijau mengaku, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BPUI selalu menerima laporan kerja masa periodenya. Bahkan, dalam RUPS yang dihadiri pemegang saham BPUI, dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan tidak pernah menolaknya. "Jadi semua dapat dipertangungjawabkan," cetusnya.

BPUI sendiri sudah tujuh kali melakukan RUPS. RUPS BPUI sudah dilakukan sejak tahun 1993 sampai dengan yang terakhir tahun 2002. Hanya sekali selama periode 1993-2001, RUPS BPUI tidak dilaksanakan, yaitu pada 1998. Selama RUPS selalu dihasilkan bahwa RUPS telah menerima laporan kerja pengurus atau direksi BPUI.

Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,  Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) angka 1, Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHP.


Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan bahwa terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksti PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due dilligence (pemeriksaan kelayakan pemberian pinjaman) terhadap Kredit Asia Finance Limited ( selanjutnya disebut KAFL) dan perusahaan lainnya seperti Festival Company Incorporated, PT. Pramawira Insan Persada, PT.ELOK UNGGUL, dan Penta Investment Limited.

KAFL sendiri adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan (Multi Finance Company), yang berkedudukan di 20/F, EURO Trade Center, 21-23 Des Vooux Road Central, Hongkong yang lebih banyak dikelola di Jakarta. KAFL kemudian digunakan sebagai penyalur dana dengan mekanisme two step dengan tujuan penerima akhir adalah PT.ELOK UNGGUL yang merupakan salah satu debitur dari PT.BPUI. KAFL kemudian menerbitkan Promissory Note (PN) KAFL No.033/PN/KAFL/VII/96 senilai USD 40,700,000.00 dalam bentuk rupiah melalui 2 cek Bank Niaga senilai masing-masing Rp.94.640.320.500,00 (eq. USD 40,496,500.00) dan Rp.475.579.500 (eq. USD 203,500.00) yang diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 13 Februari 1997.

Terdakwa kemudian mengatur agar Promissory Note yang dikeluarkan oleh KAFL tersebut kemudian dibeli oleh PT.BPUI sehingga seolah-olah mengelabui bahwa Promissory Note tersebut adalah sebuah Commercial Paper (Surat Berharga). Penempatan dana dengan menggunakan Promissory Note tersebut berasal dari rekening PT.BPUI di Bank Niaga Nomor : 064.01.00789.

Sebelumnya, pada tanggal 22 Desember 1995 terdakwa mengatur agar PT.BPUI mengalirkan dana sebesar USD 5,117,304.47, dengan menggunakan dana yang berasal dari rekening PT.BPUI di Bank Niaga Nomor : 64-A-0622-5, kemudian terbitlah Promissory Note KAFL No.009/PN/KAFL/XII/95 senilai USD 5,400,000.00 yang diterbitkan pada 22 Desember 1995 dan jatuh tempo pada 24 Juni 1996. Penyaluran dana menggunakan mekanisme two step ke PT.ELOK UNGGUL tersebut, pada dasarnya tidak dijelaskan pada Investment memo yang diajukan oleh KAFL, melainkan seakan-akan hanya sebagai placement line (penempatan dana) ke KAFL.

Terdakwa menyembunyikan fakta tersebut, dan atas arahan dan perintah terdakwa, Investment memo untuk pemberian placement line kepada KAFL hanya dengan tujuan penggunaan dana sebagai modal kerja KAFL saja. Akibat dari placement line tersebut adalah tidak adanya perlindungan jaminan atas peminjaman dana kredit yang diserahkan oleh PT. BPUI kepada KAFL dengan menggunakan Promissory Note sebagai produk yang dikeluarkan PT.BPUI.

Hal tersebut juga berimbas pada tidak terlindunginya dana PT.BPUI yang disalurkan oleh KAFL kepada PT.ELOK UNGGUL sebagai pihak terakhir dari tujuan transaksi dana dan hal ini menyebabkan resiko kredit macet yang sangat besar. Padahal sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab Terdakwa untuk mengelola PT.BPUI dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential) sesuai dengan Anggaran Dasar PT.BPUI dan Pedoman Manajemen Resiko revisi 1.4, 13 Mei 1995.

Selain transfer dana menggunakan mekanisme placement line kepada KAFL, Terdakwa melalui PT.BPUI juga melakukan transfer dana yang sama kepada beberapa perusahaan lainnya, seperti Festival Company Incorporated dengan total transfer dana sebesar USD 30.250.005,00 (tiga puluh juta dua ratus lima puluh ribu lima dollar amerika), PT.Pramawira dengan total transfer dana sebesar USD 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta dollar amerika), Penta Invesment Limited dengan total transfer dana sebesar USD 19.025.502,00 (Sembilan belas juta dua puluh lima ribu lima ratus dua dollar amerika).

Mekanisme yang digunakan Terdakwa dalam mengalirkan dana kepada Festival Company Incorporated dan PT. Pramawira hampir sama dengan mekanisme transfer dana ke KAFL hingga ke PT.ELOK UNGGUL. Pada mekanisme transfer dana ke Festival Company Incorporated, PT.BPUI pada awalnya tetap menggunakan KAFL sebagai kendaraan utama dalam proses transfer. Namun kemudian, PT.BPUI melakukan transfer langsung kepada Festival Company Inc. dengan menggunakan beberapa saham sebagai jaminan, yang mana saham tersebut merupakan hasil pembelian dari dana yang telah di transfer oleh PT. BPUI kepada Festival Company Inc. melalui KAFL.

PT. BPUI menggunakan mekanisme transfer dana yang sama terhadap PT. ELOK UNGGUL dan PT. Pramawira, bedanya hanya pada pembuatan Investment memo PT.BPUI untuk PT. Pramawira menyebutkan di dalam perihalnya bahwa final beneficiary dari investasi dana tersebut adalah PT. Pramawira, sedangkan PT.ELOK UNGGUL tidak disebutkan atau dapat dikatakan dengan sengaja disembunyikan.

Perbuatan melawan hukum lainnya yang di uraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya adalah penyalahgunaan Rekening Dana Investasi (selanjutnya disebut RDI). PT. BPUI mengajukan surat permohonan kepada Menteri keuangan u.p. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) untuk memperoleh fasilitas pendanaan subordinasi dari RDI melalui surat No.059/HR/BPUI/1997 dengan maksud dan tujuan untuk digunakan dalam program stabilisasi pasar modal dan uang oleh PT.BPUI, sebesar Rp.250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah).

Pengajuan permohonan fasilitas pendanaan subordinasi tersebut akhirnya disetujui oleh Menteri Keuangan melalui suratnya No.S654/MK.017/1997 tanggal 16 Desember 1997, dengan syarat bahwa dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sudah harus dilunaskan seluruhnya pada akhir tahun ketiga, dan beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh PT.BPUI. Kemudian, Terdakwa mencairkan dana subordinasi dari RDI tersebut secara keseluruhan dan dimasukkan ke dalam rek. PT.BPUI di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Khusus, No.31-45-2712-9. Dana subordinasi tersebut ternyata tidak digunakan untuk stabilisasi pasar modal dan uang , melainkan digunakan untuk membayar hutan Medium Term Note (MTN) I, kegiatan investasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang mana dana tersebut ditransfer ke SOCGEN sebesar Rp.5 milliar dan Standard Chartered Bank sebesar Rp.26,5 milliar, deposit pada Bank PDFCI, Bank Tiara dan Bank Umum Nasional, masing-masing sebesar Rp.115 milliar, Rp.15 milliar, dan Rp.10 milliar.

Pada tanggal 14 Desember 2000, 3 tahun setelah permohonan dana subordinasi dikabulkan Menteri Keuangan, sesuai dengan arahan Terdakwa, PT.BPUI baru menyampaikan surat No.056/HS/BPUI/2000 tanggal 14 Desember 2000, yang pada pokoknya berisi laporan atas penggunaan dana subordinasi dan meminta agar dilakukan konversi atas dana RDI yang diterima oleh PT.BPUI menjadi modal (Penyertaan Modal Pemerintah). Namun dalam surat tersebut ternyata tidak dilampirkan bukti-bukti pengeluarannya, tetapi hanya berupa dafta surat-surat berharga yang dibeli menggunakan fasilitas dana RDI. Padahal pada dasarnya saham-saham tersebut telah ada atau telah dibeli sebelum dana RDI diterima oleh PT.BPUI dan dana subordinasi dari RDI tersebut tidak pernah dapat dikembalikan oleh PT.BPUI. C.

Di dalam kasus ini perlu dicermati beberapa hal, yang dianggap oleh penulis sebagai fakta-fakta hukum, yaitu; 1. Surat Dakwaan JPU terhadap Terdakwa bersifat subsidaritas dengan dakwaan primair adalah Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) angka 1, Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Adapun unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ; a. Barang siapa Berarti dapat diartikan siapa saja. Bahkan dengan menghubungkan barang siapa itu dengan penafsiaran Pasal 2 beserta penjelasannya, diartikan bahwa swasta pun dapat menjadi subjek dari Pasal 1 ayat 1 sub a diperkuat dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan MA No. 471 K/Kr/1979. b. Melawan hukum Merujuk ke penjelasan otentik adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum. c. Memperkaya diri pribadi atau orang lain atau suatu badan Secara harfiah dapat diartikan memperkaya diri pribadi berarti menjadikan bertambah kaya. Sedangkan kaya artinya mempunyau banyak harta. Dengan demikian, dapat diartikan menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi tambah kaya. d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Dengan merujuk kepada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 setelah di baca tidak ada penjelasan.

Akan tetapi menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
(1)  Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah.
(2)  Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
(3)  Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan kepada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahtraan kepada seluruh kehidupan rakyat (Syarifudin dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan). ( Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe dkk), Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2006, hlm.52 ].

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel., tertanggal 25 November 2002 :
a)     Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b)    Melapaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c)     Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
d)    Menetapkan barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain, sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan kepada yang berhak.
e)     Menetapkan biaya perkara sebesar Rp. 7.500 ditanggung oleh negara.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal 3 Desember 2004 sebagai berikut :
a.     Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan;
b.     Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN. Jak.Sel : MENGADILI SENDIRI :
1)    Menyatakan bahwa Terdakwa Sidjiono Timan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;
2)    Menghukum terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun ;
3)    Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan dri seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4)    Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00.-(limaa puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;
5)    Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta dolar Amerika Serikat) dan Rp 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam empat puluh enam juta sembilan ratus enam ribu seratus lima belas rupiah).
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor : 02/Akta.Pid./PK/2012/PN.Jak.Sel bertanggal 20 Januari 2012 mengadili, mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali Fani Barki (istri) selaku ahli waris terpidana Sudjiono Timan. Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 434 K/Pid/2003 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel. mengadili kembali :
a.     Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terpidana Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b.     Melepaskan terpidana dari segalaa tuntutan hukum ;
c.     Memulihkan hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
d.     Menetapkan barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain, sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan kepada yang berhak.
e.     Membebankan semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.

Adapun pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut;
a.     Bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang perbuatan melawan hukum materil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Undonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secar materil dengan fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara pemohon Peninjauan Kembali ;
b.     Bahwa terpidana Sudjiono Timan tidak cukup untuk dinyakatan telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan terpidana bersifat melawan hukum materil, melainkan perlu juga membuktikan apakah memang perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi (memenuhi rumusan delik) sehingga perbuatan terpidana tersebut bersifat melawan hukum formil.
c.     Bahwa ternyata majelis hakim kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya mempertimbangkan kalau terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat internal persero seperti anggaran dasar PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT.BPUI), surat penetapan investment commite tanggal 31 Agustus 1994 No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarante Agreement antara Bahana dangan Primawira tanggal 20 September 1996, Perjanjian Pinjaman(Loan Agrement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjia Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI-327/PP3/1997, tetapi terpidana tidak ditemukan melanggar aturan formil yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.     Bahwa kalau majelis hakim kasasi menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut telah terpenuhi dengan mengambil alih pertimbangan hukum judex factie/pengadilan negeri telah mempertimbngkan dan menilai bahwa meskipun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungn bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
e.     Bahwa menurut judex factie/pengadilan negeri, perbuatan sudjiono timan selaku direktur utama PT bahana pembinaan usaha indonesia (Persero) dalam kaitan dengan kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan KAFL, festival company inc mupun penta investment ltd dan penggunaan dana rekening dana investasi (RDI) masih dalam koridor hukum perdata yang didasarkan pada undang-undang Nomor 1 tahun 1995, peratuan nomor 18 tahun 1973 serta anggaran dasar dan keputusan-keputusan rapat umum pemegang saham PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) (halaman 313-319 putusan pengadilan tingkat pertama).

Sedangkan dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur ketiga memperkaya diri sndiri, orang lain atau suatu badan dan pertimbangan unsur keempat secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara menyimpulkan, baik mengenai berapa jumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat di hitung karena uang yang mengalir dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia kepada KAFL, festival company inc maupun penta investment ltd sebagai debitur yang saat disidangkan oleh judex factie masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utang-utang debitur serta langkah-langkah lainnya.

Dengan demikian adalah suatu kekeliruan yang nyata pula apabila majelis hakim kasasi telah membebankan dan menghukum sudjiono timan dengan membayar uang pengganti sejumlah utang para debitur yakni USD $ 98,000,000, dan Rp 369.446.905.115,56, padahal menurut pasal 18 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Bahwa PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah BUMN dalam bentuk persero, dengan demikian operasionalnya tunduk pada undang-undang nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham. Penyertaan negara yang ditanam dalam BUMN tersebut meskipun merupakan keuangan negara yang dipisahkan, akan tetapi keuangan negara tersebut sudah menjadi bagian dari kekayaan persero, dan direktur bertanggung jawab atas aktifitas perusahaan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).

Fakta yang terungkap dipersidangan, PT Bahan Pembinaan Usaha Indonesia sejak berdiri tahun 1973 sampai 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak terdakwa di tunjuk sebagai direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP meraih keuntungan sebagai berikut ; Tahun 1994 untung sebesar Rp 2.000.000.000. Tahun 1995 untung sebesar Rp 11.000.000.000. Tahun 1996 untung sebesar Rp 22.000.000.000. Tahun 1997 untung sebesar Rp 23.000.000.000. Sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp 231.000.000.000 disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dolar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun 1999 dan tahun 2000 juga disebabkan krisis moneter.

Terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, yaitu Sri Murwahyuni yang berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima secara formal dengan alasan;
a.     Bahwa Permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh Istri Terpidana,
b.     Bahwa Berdasarkan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau Ahli Waris, artinya Ahli waris dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila Terpidana telah meninggal dunia;
c.     Bahwa dalam perkata a tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana selama 15 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara;
d.     Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dapat dipenuhi atau dilaksanakan;

Alasan Majelis PK menerima Permohonan Peninjauan Kembali adalah :
a.     Ahli Waris Di dalam Kasus ini Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian.  Mahkamah Agung berpendapat bahwa Istri dari Sudjiono Timan berhak mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Menurut sistem hokum perdata Indonesia yang berlaku, penentuan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah ketika pewaris meninggal dunia dan calon ahli waris memiliki hubungan waris dengan pewaris. Bagaimana pun juga bila pewaris belum meninggal dunia, maka ahli waris tidak bisa melakukan perbuatan hukumnya atas apa yang ditinggalkan oleh pewaris. rtinya ahli waris dapat menggantikan permohonan pengajuan Peninjauan Kembali apabila terdakwa telah meninggal dunia.
b.     Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 dapat dianggap sebagai alasan di dalam pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali untuk menerima dan memutus Permohonan Peninjauan Kembali kasus a. Dalam hal ini Majelis Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999, Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap kasus a sehingga dakwaan JPU yang memuat perbuatan melawan hukum materil secara fungsi positif tidak dapat diterima sebagai landasan dakwaan yang patut.

Pada akhirnya Majelis hakim yang diketuai IDG Putra Djadnya, SH, Senin (25/11) di pengadilan negeri Jaksel akhirnya membebaskan terdakwa mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan dari dakwaan dan tuntutan hukum dalam kasus korupsi Rp2 triliun. Pertimbangan majelis hakim meskipun perbuatan yang dilakukan Sudjiono Timan terbukti, namun itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perdata sehingga diputuskan untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum atau onslag.


Diungkapkan majelis hakim dalam putusannya bahwa dari fakta-fakta dan keterangan saksi-saksi yang terungkap dalam persidangan ternyata tindakan terdakwa yang menyalurkan dana pinjaman kepada sejumlah perusahaan besar tidak pernah mendapat tentangan, baik di dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), kata majelis hakim dalam putusannya setebal 400 halaman, maupun dari menteri keuangan dalam bentuk teguran-teguran menyangkut kebijakan bisnis terdakwa dalam mengelola PT BPUI. Padahal, tegas majelis hakim, sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan mengenai perseroan, rapat umum pemegang saham berfungsi sebagai pengawas tertinggi di dalam mengontrol segala tindakan dan kebijakan bisnis direksi perusahaan.

Oleh karena itu hakim memutuskan juga untuk memulihkan hak terdakwa dituntut jaksa penuntut umum Budiman Rahardjo, SH, agar dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan dan diperintahkan membayar kerugian negara Rp 1 triliun. Sementara Kapuspenkum Kejagung Barman Zahir, SH, kepada pers menanggapi putusan hakim menyatakan jaksa pasti akan mengajukan kasasi ke MA. Dia mengakui putusan hakim pengadilan negeri Jaksel itu bukan bebas murni atau vrijsprak tapi melainkan onslag atau perbuatan ada tapi bukan merupakan tindak pidana.

Dikabulkannya PK Sudjiono Timan itu membuat suasana kebatinan MA terguncang. Hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun tegas menyatakan putusan tersebut cacat. Menurutnya, Putusan PK Sudjiono Timan batal demi hukum dan bisa diajukan kembali sesuai KUHAP. Dalam persidangan permohon PK ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sebagai pengadilan asal dengan jelas terungkap bahwa Timan tidak hadir dan dalam status daftar pencarian orang (DPO). Pengajuan PK hanya dihadiri oleh kuasa hukum dan istrinya.

Sebagai lembaga pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan, maka MA diminta Gayus untuk membentuk tim eksaminasi terhadap penerapan hukum acara pada putusan Timan. Tetapi bukan mengeksaminasi substansi perkaranya yang menjadi wilayah independensi majelis hakim. Menurut Gayus, apabila ternyata pada putusan PK tersebut terjadi kesalahan penerapan hukum acara seperti apa yang diatur pd Pasal 263 dan 268 KUHP, termasuk penerapan Surat Edaran MA (SEMA) No 1/2012 yang merupakan revisi terhadap SEMA sebelumnya. Menurut Gayus yang merupakan guru besar Universitas Krisnadwipayana, bahwa tentu SEMA yang bersifat aturan internal MA tidak boleh mereduksi ketentuan UU atau pun menambah norma baru yang bertentangan dengan pasal-pasal UU yang telah ada yaitu KUHAP untuk dilaksanakan oleh majelis hakim. Di mana dasar Putusan hakim harus menggunakan hukum formil dan hukum materiil yang keduanya sama-sama bersifat imperatif atau memaksa hakim dalam memutus sebuah perkara.

Sementara itu mantan Ketua MA Harifin Tumpa mempersoalkan komposisi majelis hakim PK Sudjiono Timan. Menurut Harifin, majelis PK perkara Sudjiono Timan tidak sesuai prosedur. Menurutnya komposisi majelis hakim di tingkat PK seharusnya diisi dengan dua hakim agung dan tiga hakim ad hoc, tetapi di perkara ini, diisi dengan tiga hakim agung dan dua hakim ad hoc.

Dengan demikian Harifin menilai PK ini telah cacat sejak diajukan permohonannya. Menurutnya, UU Tipikor itu mengatur bahwa hakimnya itu harus tiga ad hoc dan dua hakim agung. Sedangkan dalam perkara ini, tiga hakim agung dan dua hakim ad hoc. Kemudian, M Assegaf, mantan pengacara Sudjiono Timan memberi pembelaan. Menurut Assegaf, putusan Mahkamah Agung (MA) dalam sidang PK yang melepaskan Timan sangat wajar. Dahulu di persidangan pertama di pengadilan negeri, putusan lepas juga diberikan karena keterangan Marie Muhammad. Assegaf saat itu membela Timan bersama Amir Syamsuddin (Kini Menteri Hukum dan HAM). Namun untuk PK ini, dia dan Amir tak lagi memegang. Juga sudah tak kontak dengan Timan.

Terdapat perbedaan pendapat antara hakim dan jaksa dalam kasus ini, dimana Jaksa berpendapat terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahi ketentuan dan prosedur di dalam menyalurkan pinjaman karena tanpa komitmen dan jaminan dari pihak peminjam. Menurut juru bicara Kejagung ini, terdakwa menyalurkan pinjaman begitu saja tanpa adanya suatu jaminan dan perjanjian, namun setelah ada pemeriksaan dan pengawasan dari Bank Indonesia baru dibuat perjanjian-perjanjian itu. Hakim menilai dengan adanya perjanjian itu berarti masalahnya masuk ruang lingkup perdata. Sementara jaksa, melihatnya pada saat terjadinya penyaluran pinjaman dana itu yang tidak memenuhi prosedur.

Menganai apakah ada celah hukum atau hakim bermain dalam perkara bebasnya Sudjiono Timan, Mahkamah Agung (MA) menampilkan salinan berkas putusan PK Sudjiono Timan yang didalamnya terdapat alur berpikir para hakim yang memeriksa perkara tersebut. Salinan berkas putusan tersebut antara lain menjelaskan bahwa:
·     Majelis PK mengabulkan PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan, Fanny Barki Timan. Putusan dibuat pada Rabu, 31 Juli 2013 oleh majelis yang terdiri dari Suhadi (ketua), Andi Samsan Nganro, Abdul Latif, Sophian Marthabaya, dan Sri Murwahyuni. Hakim PK menegaskan posisi istri sebagai ahli waris yang berhak mengajukan PK. Menurut hakim, Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud dengan ahli waris yang berhak mengajukan PK. Namun dalam sistem hukum Indonesia, selain anak yang merupakan ahli waris dari orang tua, istri juga merupakan ahli waris dari suami. Menurut hakim, makna ahli waris dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP itu bukan dimaksudkan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana melainkan ditujukan terhadap orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli waris terpidana yang berhak mengajukan PK. Menurut hakim, baik terpidana maupun ahli waris mempunyai kedudukan yang sama untuk mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak; apalagi undang-undang tidak memberikan prioritas antara terpidana dan ahli waris untuk mengajukan PK. Dalam kasus Timan, istrinya hadir pada sidang pemeriksaan PK di PN Jakarta Selatan pada 20 Februari 2012 dan 29 Februari 2012. Alhasil secara formil permohonan PK itu dapat diterima. Namun, hakim PK Sri Murwahyuni mengajukan pendapat berbeda. Menurut dia, pengajuan PK oleh istri Timan secara formil tidak dapat diterima. Apalagi tidak ada keterangan bahwa Timan meninggal dunia sehingga tidak ada alasan Timan untuk tidak menjalankan pidana 15 tahun penjara dan hartanya dirampas negara
·      Hakim menegaskan perbuatan Timan bukan merupakan korupsi. Alasannya antara lain menurut hakim PK, majelis kasasi hanya mempertimbangkan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif tanpa mempertimbangkan unsur pokok lainnya. Timan tidak cukup dinyatakan melakukan korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela melainkan perlu dibuktikan apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur tipikor dalam arti melawan hukum secara formil. Nyatanya, menurut hakim PK, majelis kasasi hanya membuktikan Timan melanggar aturan internal perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) seperti anggaran dasar, surat ketetapan investasi, dan perjanjian bisnis lainnya. Konsekuensinya, aliran dana dalam perkara itu masuk dalam koridor hubungan keperdataan dan bukan pidana. Menurut hakim PK adalah kekeliruan yang nyata kalau hakim membebankan uang pengganti kepada Timan sejumlah utang para debitur yakni sebesar US$98 juta (Rp1,08 triliun) dan Rp369 miliar.

Kejanggalan dalam bebasnya Sudjiono Timan menyebabkan Komisi Yudisial memanggil lima hakim pemutus bebas terpidana Sudjiono Timan yaitu Abdul Latief, Suhadi, Andi Samdan Nganro, Sofyan Marthabaya dan Murwahyuni. Namun, empat dari lima hakim pemutus bebas terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sudjiono Timan mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Yudisial pada Jumat kemarin. Empat hakim agung yang belum bersedia untuk diperiksa itu adalah Suhadi, Andi Samdan Nganro, Sofyan Marthabaya dan Murwahyuni.
Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Sahuri mengatakan dari lima hakim agung majelis Peninjauan Kembali (PK) perkara Sudjiono Timan, hanya Abdul Latief yang sudah mengonfirmasi bersedia diperiksa. Sedangkan empat hakim lainnya belum menginformasi kehadirannya.

Namun Abdul Latief yang sebelumnya bersedia diperiksa di gedung Komisi Yudisial, berubah pikiran saat hari H dan meminta diperiksa di gedung Mahkamah Agung. Bagi KY, kata dia, pemeriksaan dilakukan di mana saja tidak menjadi masalah. Sebelumnya para hakim agung yang menyidangkan PK itu dijawalkan diperiksa pukul 10.00 WIB di kantor KY. Namun, tempat pemeriksaan ini bisa dilaksanakan di gedung Mahkamah Agung (MA) yang waktunya disesuaikan oleh MA.

Pemeriksaan Komisi Yudisial terhadap sejumlah hakim agung itu terkait dengan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam putusan PK yang membuat Sudjiono bebas dari segala jeratan hukum. Padahal yang bersangkutan sendiri saat ini dalam status buronan aparat hukum karena melarikan diri saat akan dieksekusi berdasar keputusan kasasi Mahkamah Agung.

Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Eman Suparman mengatakan agenda pemeriksaan keempat hakim tersebut gagal dilakukan kembali. Salah satu utusan hakim mendatangi gedung Komisi Yudisial dengan permohonan maaf serta meminta Komisi Yudisial untuk menjadwal ulang.

Meski belum berhasil memeriksa hakim tersebut tetapi Komisi Yudisial telah mengantongi sejumlah bukti pelanggaran yang dilakukan para hakim Komisi Yudisial yang mengabulkan permohonan Sudjiono. Menurutnya, tanpa pemeriksaan, Komisi Yudisial juga sudah bisa memutuskan hasilnya, tapi pihaknya tetap akan meminta keterangan terlebih dahulu dari para hakim agung yang menjadi majelis PK Sudjiono.

Eman mengungkapkan, Komisi Yudisial sudah mengantongi data, informasi, dan fakta yang didapat dari hasil investigasi selama ini. Bahkan, Komisi Yudisial menemukan fakta baru dari pengembangan kasus dugaan pelanggaran KEPPH dalam proses putusan PK yang diajukan Sudjiono Timan. Diantaranya, adanya sejumlah hakim yang kerap mondar-mandir dari Jakarta - Singapura. Tercatat salah satu hakim yang dimaksud sudah 18 kali pergi ke Singapura dalam kurun waktu hanya 3 bulan, yaitu dari Juni hingga Agustus 2013. Pada periode bulan yang sama, hakim lainnya juga terbang ke Singapura sebanyak 7 kali. Rentang waktu mereka ke Singapura itu bersamaan dengan tengah diprosesnya PK yang diajukan Sudjiono. Bahkan ada hakim yang setiap kali berada di Singapura hanya beberapa jam saja. Terbang dari Jakarta ke Singapura pukul 08.00 WIB dan di hari yang sama mendarat kembali di Jakarta pukul 14.00 WIB.

Sementara itu Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali sebelumnya mengaku, pihaknya telah melakukan pemeriksaan atas hakim dan proses pengambilan putusan PK yang membebaskan koruptor Sudjiono Timan dalam paparan media di Gedung MA, Jakarta Pusat, 3 Desember 2013.

Namun, Hatta Ali mengakui, Tim MA menemukan sedikit kesalahan, yakni putusan dibuat setelah Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana. SEMA mengatur, permohonan hanya dapat diajukan bila dihadiri terpidana atau ahli waris. Ia berkesimpulan, meskipun PK didaftarkan pada Januari 2012, sebelum SEMA diterbitkan pada 28 Juni 2012, putusannya dibacakan setelah penerbitannya.

      B.    ALASAN TERJADINYA KORUPSI
Korupsi PT BPUI oleh Sudjiono Timan terjadi Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan bahwa terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksi PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due dilligence (pemeriksaan kelayakan pemberian pinjaman) terhadap Kredit Asia Finance Limited ( selanjutnya disebut KAFL) dan perusahaan lainnya seperti Festival Company Incorporated, PT. Pramawira Insan Persada, PT.ELOK UNGGUL, dan Penta Investment Limited.
 Selain itu, jajaran direksi BPUI ternyata diberi posisi atau jabatan pada PT Dragon Oil sebagai nonexecutive director. Bahkan, ada yang diberi hak memiliki 25 juta lembar saham PT Dragon Oil. PT Dragon Oil merupakan salah satu anak perusahaan Grup Medco. Akibatnya Negara menanggung akibat tidak terlunasinya sebagian utang senilai USD 52,192 juta.

      C.   KETERLIBATAN PENGUASA
Kasus Sudjiono Timan tidak terlepas dari bantuan tangan beberapa penguasa yang diantara lain adalah:
1)         Keterlibatan 3 (tiga) perwira polisi dari National Central Bureau (NCB) dalam penerbitan paspor Sudjiono Timan yang dibenarkan oleh Mabes Polri. Bahkan paspor yang diterbitkan itu, menurut Menkum dan HAM Hamid Awaluddin telah mendapatkan visa multiple selama 5 tahun dari beberapa negara, yakni AS, Inggris dan Eropa Barat.
2)         Keanehan yang terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) yaitu dengan dikabulkan nya Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung dengan memvonis bebas Sudjiono Sutiman, padahal PK tidak memenuhi syarat. Karena berdasarkan KUHAP 265 ayat 2 yang dapat mewakili terdakwa dalam mengajukan PK adalah ahli waris. Sedangkan, saat itu istri Sudjiono belum menjadi ahli waris karena keberadaan Sudjiono tidak jelas (belum meninggal dunia). Ahli Waris Di dalam Kasus ini Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian. Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Istri dari Sudjiono Timan berhak mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Selain itu Mahkamah Agung menggunakan pendapat Yahya Harahap yang mengatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan hak substitusi melainkan hak orisinil dari ahli waris. Menurut sistem hukum perdata Indonesia yang berlaku, penentuan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah ketika pewaris meninggal dunia dan calon ahli waris memiliki hubungan waris dengan pewaris. Bagaimana pun juga bila pewaris belum meninggal dunia, maka ahli waris tidak bisa melakukan perbuatan hukumnya atas apa yang ditinggalkan oleh pewaris. Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menyatakan secara jelas mengenai kedudukan ahli waris sebagai subsitusi dengan menggunakan frasa atau bukan frasa, artinya ahli waris dapat menggantikan permohonan pengajuan Peninjauan Kembali apabila terdakwa telah meninggal dunia.
3)         Komisi Yudisial (KY) beberapa kali mencoba mengendus berbagai laporan kejanggalan di Mahkamah Agung (MA), dari dugaan suap hingga perilaku para hakim agung di balik lepasnya koruptor Rp 1,2 triliun, Sudjiono Timan tetapi tidak juga menemukan titik terang.
4)         Komisi Yudisial menemukan keanehan diantaranya sejumlah hakim yang kerap mondar-mandir dari Jakarta - Singapura. Tercatat salah satu hakim yang dimaksud sudah 18 kali pergi ke Singapura dalam kurun waktu hanya 3 bulan, yaitu dari Juni hingga Agustus 2013. Pada periode bulan yang sama, hakim lainnya juga terbang ke Singapura sebanyak 7 kali. Rentang waktu mereka ke Singapura itu bersamaan dengan tengah diprosesnya PK yang diajukan Sudjiono. Bahkan ada hakim yang setiap kali berada di Singapura hanya beberapa jam saja. Terbang dari Jakarta ke Singapura pukul 08.00 WIB dan di hari yang sama mendarat kembali di Jakarta pukul 14.00 WIB.

        D.   HUKUMAN
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel., tertanggal 25 November 2002 :
a)     Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b)    Melapaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c)     Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
d)    Menetapkan barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain, sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan kepada yang berhak.
e)     Menetapkan biaya perkara sebesar Rp. 7.500 ditanggung oleh negara.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal 3 Desember 2004 sebagai berikut :
a.     Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan;
b.     Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN. Jak.Sel : MENGADILI SENDIRI :
1)    Menyatakan bahwa Terdakwa Sidjiono Timan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;
2)    Menghukum terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun ;
3)    Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan dri seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4)    Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00.-(limaa puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;
5)    Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta dolar Amerika Serikat) dan Rp 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam empat puluh enam juta sembilan ratus enam ribu seratus lima belas rupiah).

Tetapi pada akhirnya Majelis hakim yang diketuai IDG Putra Djadnya, SH, Senin (25/11) di pengadilan negeri Jaksel akhirnya membebaskan terdakwa mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan dari dakwaan dan tuntutan hukum dalam kasus korupsi Rp 2 triliun. Pertimbangan majelis hakim meskipun perbuatan yang dilakukan Sudjiono Timan terbukti, namun itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perdata sehingga diputuskan untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum atau onslag.

Diungkapkan majelis hakim dalam putusannya bahwa dari fakta-fakta dan keterangan saksi-saksi yang terungkap dalam persidangan ternyata tindakan terdakwa yang menyalurkan dana pinjaman kepada sejumlah perusahaan besar tidak pernah mendapat tentangan, baik di dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), kata majelis hakim dalam putusannya setebal 400 halaman, maupun dari menteri keuangan dalam bentuk teguran-teguran menyangkut kebijakan bisnis terdakwa dalam mengelola PT BPUI. Padahal, tegas majelis hakim, sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan mengenai perseroan, rapat umum pemegang saham berfungsi sebagai pengawas tertinggi di dalam mengontrol segala tindakan dan kebijakan bisnis direksi perusahaan.

Disisi lain, menurut Majelis PK, perbuatan Sudjiono Timan masuk ranah perdata bukan pidana. Dia memang terbukti menghilangkan keuangan negara (BLBI) tetapi bukan atas nama pribadi melainkan korporasi (PT BPUI). Suhadi mengatakan Sudjiono melanggar asas kepatutan sebagai Dirut PT BPUI yang meminjamkan uang dari dana BLBI kepada perusahaan lain yakni Festival Company Inc. sebesar USD67 juta (Rp743 miliar), Penta Investment Ltd sebesar USD19 juta (Rp210 miliar), KAFL sebesar USD34 juta (Rp377 mikiar), dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan USD98,7 juta (Rp1 triliun), yang akhirnya tidak kembali karena perusahaan-perusahaan itu bangkrut akibat krisis 1998. Menurut Majelis PK, pinjaman itu bukan atas nama Sudjiono Timan pribadi melainkan PT BPUI.

      E.    SARAN DAN REKOMENDASI
Saran yang dapat saya berikan adalah sebagai berikut:
1)    Sebaiknya pemerintah dalam melakukan seleksi untuk calon hakim maupun calon jaksa benar – benar mempertimbangkan bukan hanya kemampuan secara akademik tetapi juga mempertimbangkan moral, spiritual, dan catatan kejahatannya. Sehingga dengan ini diharapkan tidak ada lagi hakim atau jaksa yang mengesampingkan keadilan karena suap, atau ketidakberanian dalam menggali lebih dalam mengenai kasus yang ditangani. Selain itu, pemerintah juga hendaknya melakukan diklat dan seminar antikorupsi bagi para hakim dan jaksa agar memiliki mindset bahwa korupsi bukan lah tindak kejahatan yang baik.
2)    Sebaiknya tersangka korupsi diberikan hukuman yang berat berapapun nominal atau setinggi apapun jabatannya agar apabila bebas, tersangka tidak lagi melakukan perbuatan tersebut. Selain itu hukuman yang berat juga dapat membuat calon koruptor berpikir ulang sebelum mereka melakukan tindakan korupsi.
3)    Sebaiknya dalam menangani kasus khususnya yang sedang dibahas adalah kasus korupsi, agar Mahkamah Agung dan Aparat lainnya segera menuntaskan masalah yang terjadi dan jangan memberikan kesempatan bagi tersangka maupun keluarga tersangka untuk mengulur waktu seperti yang dilakukan oleh istri tersangka Sudjiono Timan dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PN).
4)    Menurut saya, ada kelemahan dalam ketentuan pengajuan PK yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.1/2012 dan Pasal 263 KUHAP. Dimana dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak dijelaskan apakah seorang buronan bisa mengajukan PK, juga  “definisi” ahli waris yang menurut UU bisa  mengajukan PK tidak jelas statusnya apakah telah sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Sebagian hakim menyebut ahli waris hanya bisa mengajukan PK jika terpidana meninggal, yang lain menyatakan tidak perlu terpidana meninggal. Seharusnya untuk memastikn status hukum, hakim berani menyatakan, pengajuan PK oleh ahli waris hanya bisa diterima jika terpidana telah meninggal karena hakim memiliki kekuasaan untuk menemukan hukum (recht vinding). Selain itu, saya juga mempertanyakan novum yang diterima majelis hakim. Jika vonum mengacu pada pengertian  bukti baru yang jika bukti itu dulu muncul di persidangan maka terdakwa akan dibebaskan, maka apakah  putusan MK  bisa disebut novum? Karena secara logika hukum, mestinya itu tak bisa dipakai.
5)    Menurut saya, Vonis bebas Sudjiono memang sangat patut dicurigai. Dan saya sangat berharap meskipun kasus ini sudah berlalu lama tetapi sebaiknya kasus ini kembali diangkat ke meja hijau karena bebasnya Sudjiono Timan sangatlah tidak wajar, bisa jadi ada campur tangan mafia peradilan atau pihak lain yang berkuasa.

      F.    KESIMPULAN
Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Sebelumnya, Timan dianggap menyalagunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan 98,7 dolar singapura. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa berlangsung dari tahun 1995 secara bersama-sama dan berlanjut hingga tahun 1998. Jenis perbuatan korupsi yang dilakukan Sudjiono Timan yaitu perbuatan melawan hukum materil memperkaya diri sendiri, dan perbuatan menyalahgunakan wewenang.

Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke tingkat MA. Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 50.000.000,- , dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.

Perkara kasasi Sudjiono ini diputuskan pada 3 Desember 2004. Saat jaksa akan mengeksekusi putusan kasasinya pada 7 Desember 2004, Sudjiono sudah kabur. Padahal, saat itu, dia sudah dikenakan pencekalan, bahkan paspornya sudah ditarik. Oleh karena itu terpidana Sudjiono Timan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan MA yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu karena melarikan diri alias buron.

Atas putusan PK yang dikabulkan oleh MA, Ketua Majelis Suhadi mengatakan sejumlah dasar PK yang menjadikan hukuman terhadap Sudjiono Timan kembali ke putusan PN Jaksel, yakni lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Kemudian istri Sudjiono Timan selaku ahli waris mengajukan Peninjauan Kembali di tingkat MA. Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 13 Juli 2013 menilai terdapat kekeliruan dalam putusan kasasi dan melepaskan Sudjiono Timan dari segala tuntutan hukum.

DAFTAR PUSTAKA











 

Kumpulan Makalah Kuliah Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea