MAKALAH KASUS KORUPSI TERBESAR DI INDONESIA
“ PT. BPUI (Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia )
Sudjono Timan ”
Korupsi atau rasuah (dalam
bahasa Latin disebut corruptio yang
berasal dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Menurut perspektif hukum,
definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999
jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan
kedalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat
dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,
gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20).
Dalam UU No. 20 Tahun 2001
terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori
korupsi dalam UU tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction,
hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan
jabatan dan wewenang serta fasilitas negara. Beberapa bentuk korupsi
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penyuapan
(bribery)
Mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa
uang maupun barang.
2. Embezzlement
Merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana
publik atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud
Merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang
melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses
manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil
keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion
Merupakan tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya
dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh
pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan
regional.
5. Favouritism
Adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang
berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar
hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba
kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Jenis
korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M.
Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar,
2006:18):
1. Korupsi
ekstortif
Berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada
penguasa.
2. Korupsi
manipulative
Korupsi ini contohnya permintaan seseorang yang memiliki
kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan
atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3. Korupsi
nepotistic
Yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan,
pertemanan, dan sebagainya.
4. Korupsi
subversive
Merupakan
korupsi dengan cara merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk
dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Salah satu contoh korupsi yang akan dibahas
adalah Kasus Korupsi PT. BPUI Sudjiono
Timan.
I.
POKOK
PERMASAHAN
A.
PENDAHULUAN
Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT.
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau dengan sebutan lain PT. Bahana Sekuritas
(BPUI) sejak tanggal 4 Maret 1993 sesuai Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT.
BPUI Nomor 17 tertanggal 8 Mei 1993 yang dibuat dihadapan Notaris Adrian
Djuaini, S.H, dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia Nomor : tanggal 26 September 1994.
Sudjiono menjadi eksekutif
BPUI pertama yang diajukan ke meja hijau mengaku, Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) BPUI selalu menerima laporan kerja masa periodenya. Bahkan, dalam RUPS
yang dihadiri pemegang saham BPUI, dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan
tidak pernah menolaknya. "Jadi semua dapat dipertangungjawabkan,"
cetusnya.
BPUI sendiri sudah tujuh
kali melakukan RUPS. RUPS BPUI sudah dilakukan sejak tahun 1993 sampai dengan
yang terakhir tahun 2002. Hanya sekali selama periode 1993-2001, RUPS BPUI
tidak dilaksanakan, yaitu pada 1998. Selama RUPS selalu dihasilkan bahwa RUPS
telah menerima laporan kerja pengurus atau direksi BPUI.
Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1
ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2)
KUHP, Pasal 55 ayat (1) angka 1, Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan
subsider Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat
(1) ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan
bahwa terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian (prudential principle)
dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa
terdakwa bersama-sama dengan Direksti PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due dilligence (pemeriksaan kelayakan
pemberian pinjaman) terhadap Kredit Asia Finance Limited ( selanjutnya disebut
KAFL) dan perusahaan lainnya seperti Festival Company Incorporated, PT.
Pramawira Insan Persada, PT.ELOK UNGGUL, dan Penta Investment Limited.
KAFL sendiri adalah sebuah perusahaan yang
bergerak dalam bidang jasa keuangan (Multi
Finance Company), yang berkedudukan di 20/F, EURO Trade Center, 21-23 Des
Vooux Road Central, Hongkong yang lebih banyak dikelola di Jakarta. KAFL
kemudian digunakan sebagai penyalur dana dengan mekanisme two step dengan
tujuan penerima akhir adalah PT.ELOK UNGGUL yang merupakan salah satu debitur
dari PT.BPUI. KAFL kemudian menerbitkan Promissory
Note (PN) KAFL No.033/PN/KAFL/VII/96 senilai USD 40,700,000.00 dalam bentuk
rupiah melalui 2 cek Bank Niaga senilai masing-masing Rp.94.640.320.500,00 (eq.
USD 40,496,500.00) dan Rp.475.579.500 (eq. USD 203,500.00) yang diterbitkan
pada tanggal 13 Agustus 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 13 Februari 1997.
Terdakwa kemudian mengatur agar Promissory Note yang dikeluarkan oleh
KAFL tersebut kemudian dibeli oleh PT.BPUI sehingga seolah-olah mengelabui
bahwa Promissory Note tersebut adalah
sebuah Commercial Paper (Surat
Berharga). Penempatan dana dengan menggunakan Promissory Note tersebut berasal dari rekening PT.BPUI di Bank
Niaga Nomor : 064.01.00789.
Sebelumnya, pada tanggal 22 Desember 1995
terdakwa mengatur agar PT.BPUI mengalirkan dana sebesar USD 5,117,304.47,
dengan menggunakan dana yang berasal dari rekening PT.BPUI di Bank Niaga Nomor
: 64-A-0622-5, kemudian terbitlah Promissory
Note KAFL No.009/PN/KAFL/XII/95 senilai USD 5,400,000.00 yang diterbitkan
pada 22 Desember 1995 dan jatuh tempo pada 24 Juni 1996. Penyaluran dana
menggunakan mekanisme two step ke
PT.ELOK UNGGUL tersebut, pada dasarnya tidak dijelaskan pada Investment memo yang diajukan oleh KAFL,
melainkan seakan-akan hanya sebagai placement
line (penempatan dana) ke KAFL.
Terdakwa menyembunyikan fakta tersebut, dan
atas arahan dan perintah terdakwa, Investment
memo untuk pemberian placement line
kepada KAFL hanya dengan tujuan penggunaan dana sebagai modal kerja KAFL saja.
Akibat dari placement line tersebut
adalah tidak adanya perlindungan jaminan atas peminjaman dana kredit yang
diserahkan oleh PT. BPUI kepada KAFL dengan menggunakan Promissory Note sebagai produk yang dikeluarkan PT.BPUI.
Hal tersebut juga berimbas pada tidak
terlindunginya dana PT.BPUI yang disalurkan oleh KAFL kepada PT.ELOK UNGGUL
sebagai pihak terakhir dari tujuan transaksi dana dan hal ini menyebabkan
resiko kredit macet yang sangat besar. Padahal sudah menjadi kewajiban dan
tanggung jawab Terdakwa untuk mengelola PT.BPUI dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian (prudential) sesuai dengan Anggaran Dasar PT.BPUI dan Pedoman
Manajemen Resiko revisi 1.4, 13 Mei 1995.
Selain transfer dana menggunakan mekanisme
placement line kepada KAFL, Terdakwa melalui PT.BPUI juga melakukan transfer
dana yang sama kepada beberapa perusahaan lainnya, seperti Festival Company
Incorporated dengan total transfer dana sebesar USD 30.250.005,00 (tiga puluh
juta dua ratus lima puluh ribu lima dollar amerika), PT.Pramawira dengan total
transfer dana sebesar USD 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta dollar amerika),
Penta Invesment Limited dengan total transfer dana sebesar USD 19.025.502,00
(Sembilan belas juta dua puluh lima ribu lima ratus dua dollar amerika).
Mekanisme yang digunakan Terdakwa dalam
mengalirkan dana kepada Festival Company Incorporated dan PT. Pramawira hampir
sama dengan mekanisme transfer dana ke KAFL hingga ke PT.ELOK UNGGUL. Pada
mekanisme transfer dana ke Festival Company Incorporated, PT.BPUI pada awalnya
tetap menggunakan KAFL sebagai kendaraan utama dalam proses transfer. Namun
kemudian, PT.BPUI melakukan transfer langsung kepada Festival Company Inc.
dengan menggunakan beberapa saham sebagai jaminan, yang mana saham tersebut
merupakan hasil pembelian dari dana yang telah di transfer oleh PT. BPUI kepada
Festival Company Inc. melalui KAFL.
PT. BPUI menggunakan mekanisme transfer dana
yang sama terhadap PT. ELOK UNGGUL dan PT. Pramawira, bedanya hanya pada
pembuatan Investment memo PT.BPUI
untuk PT. Pramawira menyebutkan di dalam perihalnya bahwa final beneficiary
dari investasi dana tersebut adalah PT. Pramawira, sedangkan PT.ELOK UNGGUL
tidak disebutkan atau dapat dikatakan dengan sengaja disembunyikan.
Perbuatan melawan hukum lainnya yang di
uraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya adalah penyalahgunaan Rekening Dana
Investasi (selanjutnya disebut RDI). PT. BPUI mengajukan surat permohonan
kepada Menteri keuangan u.p. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) untuk
memperoleh fasilitas pendanaan subordinasi dari RDI melalui surat
No.059/HR/BPUI/1997 dengan maksud dan tujuan untuk digunakan dalam program
stabilisasi pasar modal dan uang oleh PT.BPUI, sebesar Rp.250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
Pengajuan permohonan fasilitas pendanaan
subordinasi tersebut akhirnya disetujui oleh Menteri Keuangan melalui suratnya
No.S654/MK.017/1997 tanggal 16 Desember 1997, dengan syarat bahwa dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sudah harus dilunaskan seluruhnya pada akhir tahun ketiga,
dan beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh PT.BPUI. Kemudian,
Terdakwa mencairkan dana subordinasi dari RDI tersebut secara keseluruhan dan
dimasukkan ke dalam rek. PT.BPUI di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Khusus,
No.31-45-2712-9. Dana subordinasi tersebut ternyata tidak digunakan untuk stabilisasi
pasar modal dan uang , melainkan digunakan untuk membayar hutan Medium Term
Note (MTN) I, kegiatan investasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang mana dana
tersebut ditransfer ke SOCGEN sebesar Rp.5 milliar dan Standard Chartered Bank
sebesar Rp.26,5 milliar, deposit pada Bank PDFCI, Bank Tiara dan Bank Umum
Nasional, masing-masing sebesar Rp.115 milliar, Rp.15 milliar, dan Rp.10
milliar.
Pada tanggal 14 Desember 2000, 3 tahun
setelah permohonan dana subordinasi dikabulkan Menteri Keuangan, sesuai dengan
arahan Terdakwa, PT.BPUI baru menyampaikan surat No.056/HS/BPUI/2000 tanggal 14
Desember 2000, yang pada pokoknya berisi laporan atas penggunaan dana
subordinasi dan meminta agar dilakukan konversi atas dana RDI yang diterima
oleh PT.BPUI menjadi modal (Penyertaan Modal Pemerintah). Namun dalam surat
tersebut ternyata tidak dilampirkan bukti-bukti pengeluarannya, tetapi hanya
berupa dafta surat-surat berharga yang dibeli menggunakan fasilitas dana RDI.
Padahal pada dasarnya saham-saham tersebut telah ada atau telah dibeli sebelum
dana RDI diterima oleh PT.BPUI dan dana subordinasi dari RDI tersebut tidak
pernah dapat dikembalikan oleh PT.BPUI. C.
Di dalam kasus ini perlu dicermati beberapa
hal, yang dianggap oleh penulis sebagai fakta-fakta hukum, yaitu; 1. Surat
Dakwaan JPU terhadap Terdakwa bersifat subsidaritas dengan dakwaan primair
adalah Pasal 1 ayat (1) sub Pasal 28, Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971,
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) angka
1, Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub Pasal
28, Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1, Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Adapun unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ; a. Barang siapa Berarti
dapat diartikan siapa saja. Bahkan dengan menghubungkan barang siapa itu dengan
penafsiaran Pasal 2 beserta penjelasannya, diartikan bahwa swasta pun dapat
menjadi subjek dari Pasal 1 ayat 1 sub a diperkuat dengan adanya yurisprudensi
Mahkamah Agung melalui putusan MA No. 471 K/Kr/1979. b. Melawan hukum Merujuk
ke penjelasan otentik adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
c. Memperkaya diri pribadi atau orang lain atau suatu badan Secara harfiah
dapat diartikan memperkaya diri pribadi berarti menjadikan bertambah kaya.
Sedangkan kaya artinya mempunyau banyak harta. Dengan demikian, dapat diartikan
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya
menjadi tambah kaya. d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Dengan merujuk kepada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 setelah di baca tidak
ada penjelasan.
Akan tetapi menurut penjelasan umum
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
(1) Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara
baik di tingkat pusat maupun di daerah.
(2) Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
(3) Sedangkan
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan kepada kebijakan pemerintah baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahtraan
kepada seluruh kehidupan rakyat (Syarifudin dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi
Perbankan). ( Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe dkk), Jakarta : Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional, 2006, hlm.52 ].
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel.,
tertanggal 25 November 2002 :
a) Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti akan
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b) Melapaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c) Memulihkan
hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
d) Menetapkan
barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain,
sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan
Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama
Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama
Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan
kepada yang berhak.
e) Menetapkan
biaya perkara sebesar Rp. 7.500 ditanggung oleh negara.
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal 3 Desember
2004 sebagai berikut :
a. Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan;
b. Membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 Nomor :
1440/Pid.B/2001/PN. Jak.Sel : MENGADILI SENDIRI :
1) Menyatakan
bahwa Terdakwa Sidjiono Timan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;
2) Menghukum
terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima
belas) tahun ;
3) Menetapkan
masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan dri seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan ;
4) Menghukum
pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00.-(limaa puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka kepada
terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan ;
5) Menghukum
pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
sebesar US$ 98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta dolar Amerika Serikat) dan
Rp 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat
puluh enam empat puluh enam juta sembilan ratus enam ribu seratus lima belas
rupiah).
Putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor : 02/Akta.Pid./PK/2012/PN.Jak.Sel
bertanggal 20 Januari 2012 mengadili, mengabulkan permohonan peninjauan kembali
dari pemohon peninjauan kembali Fani Barki (istri) selaku ahli waris terpidana
Sudjiono Timan. Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 434 K/Pid/2003
yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel. mengadili kembali :
a. Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terpidana Sudjiono Timan tersebut terbukti
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b. Melepaskan
terpidana dari segalaa tuntutan hukum ;
c. Memulihkan
hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
d. Menetapkan
barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain,
sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No.
1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening
atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening
atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan
kepada yang berhak.
e. Membebankan
semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.
Adapun
pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut;
a. Bahwa
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang
perbuatan melawan hukum materil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Undonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP
ketentuan perbuatan melawan hukum secar materil dengan fungsi positif sudah
tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara pemohon Peninjauan Kembali ;
b. Bahwa
terpidana Sudjiono Timan tidak cukup untuk dinyakatan telah melakukan tindak
pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan
terpidana bersifat melawan hukum materil, melainkan perlu juga membuktikan
apakah memang perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana
korupsi (memenuhi rumusan delik) sehingga perbuatan terpidana tersebut bersifat
melawan hukum formil.
c. Bahwa
ternyata majelis hakim kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya
mempertimbangkan kalau terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang
bersifat internal persero seperti anggaran dasar PT Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia (PT.BPUI), surat penetapan investment commite tanggal 31 Agustus 1994
No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarante Agreement
antara Bahana dangan Primawira tanggal 20 September 1996, Perjanjian
Pinjaman(Loan Agrement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjia Pinjaman
Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI-327/PP3/1997,
tetapi terpidana tidak ditemukan melanggar aturan formil yaitu ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Bahwa
kalau majelis hakim kasasi menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut
telah terpenuhi dengan mengambil alih pertimbangan hukum judex
factie/pengadilan negeri telah mempertimbngkan dan menilai bahwa meskipun unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi namun karena aliran dana
dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungn bisnis sehingga
tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
e. Bahwa
menurut judex factie/pengadilan negeri, perbuatan sudjiono timan selaku
direktur utama PT bahana pembinaan usaha indonesia (Persero) dalam kaitan
dengan kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan KAFL, festival company
inc mupun penta investment ltd dan penggunaan dana rekening dana investasi
(RDI) masih dalam koridor hukum perdata yang didasarkan pada undang-undang
Nomor 1 tahun 1995, peratuan nomor 18 tahun 1973 serta anggaran dasar dan
keputusan-keputusan rapat umum pemegang saham PT Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia (Persero) (halaman 313-319 putusan pengadilan tingkat pertama).
Sedangkan
dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur ketiga memperkaya diri sndiri, orang
lain atau suatu badan dan
pertimbangan unsur keempat secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara menyimpulkan, baik mengenai berapa
jumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat di hitung
karena uang yang mengalir dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia kepada KAFL,
festival company inc maupun penta investment ltd sebagai debitur yang saat
disidangkan oleh judex factie masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi
utang-utang debitur serta langkah-langkah lainnya.
Dengan
demikian adalah suatu kekeliruan yang nyata pula apabila majelis hakim kasasi
telah membebankan dan menghukum sudjiono timan dengan membayar uang pengganti
sejumlah utang para debitur yakni USD $ 98,000,000, dan Rp 369.446.905.115,56,
padahal menurut pasal 18 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
Bahwa PT
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah BUMN dalam bentuk persero, dengan
demikian operasionalnya tunduk pada undang-undang nomor 1 tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham. Penyertaan negara yang
ditanam dalam BUMN tersebut meskipun merupakan keuangan negara yang dipisahkan,
akan tetapi keuangan negara tersebut sudah menjadi bagian dari kekayaan
persero, dan direktur bertanggung jawab atas aktifitas perusahaan dalam rapat
umum pemegang saham (RUPS).
Fakta
yang terungkap dipersidangan, PT Bahan Pembinaan Usaha Indonesia sejak berdiri
tahun 1973 sampai 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak terdakwa di tunjuk
sebagai direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP
meraih keuntungan sebagai berikut ; Tahun 1994 untung sebesar Rp 2.000.000.000.
Tahun 1995 untung sebesar Rp 11.000.000.000. Tahun 1996 untung sebesar Rp
22.000.000.000. Tahun 1997 untung sebesar Rp 23.000.000.000. Sedangkan tahun
1998 mengalami kerugian sebesar Rp 231.000.000.000 disebabkan oleh selisih
nilai kurs rupiah terhadap dolar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun
1999 dan tahun 2000 juga disebabkan krisis moneter.
Terdapat
perbedaan pendapat (dissenting opinion)
dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, yaitu Sri
Murwahyuni yang berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat
diterima secara formal dengan alasan;
a. Bahwa
Permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh Istri Terpidana,
b. Bahwa
Berdasarkan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau Ahli Waris, artinya Ahli
waris dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila Terpidana telah
meninggal dunia;
c. Bahwa
dalam perkata a tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal
dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk
menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434
K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana selama 15 tahun karena terbukti
melakukan tindak pidana korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara;
d. Bahwa
adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban
Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dapat dipenuhi atau
dilaksanakan;
Alasan
Majelis PK menerima Permohonan Peninjauan Kembali adalah :
a. Ahli
Waris Di dalam Kasus ini Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari
Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah
melakukan perceraian. Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Istri dari Sudjiono Timan berhak mengajukan Permohonan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut
di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Menurut sistem hokum perdata Indonesia yang
berlaku, penentuan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah ketika
pewaris meninggal dunia dan calon ahli waris memiliki hubungan waris dengan
pewaris. Bagaimana pun juga bila pewaris belum meninggal dunia, maka ahli waris
tidak bisa melakukan perbuatan hukumnya atas apa yang ditinggalkan oleh
pewaris. rtinya ahli waris dapat menggantikan permohonan pengajuan Peninjauan
Kembali apabila terdakwa telah meninggal dunia.
b. Putusan
Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 Majelis Peninjauan Kembali berpendapat
bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 dapat dianggap sebagai
alasan di dalam pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali untuk menerima dan
memutus Permohonan Peninjauan Kembali kasus a. Dalam hal ini Majelis Peninjauan
Kembali menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999,
Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap
kasus a sehingga dakwaan JPU yang memuat perbuatan melawan hukum materil secara
fungsi positif tidak dapat diterima sebagai landasan dakwaan yang patut.
Pada akhirnya Majelis hakim yang diketuai IDG
Putra Djadnya, SH, Senin (25/11) di pengadilan negeri Jaksel akhirnya
membebaskan terdakwa mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)
Sudjiono Timan dari dakwaan dan tuntutan hukum dalam kasus korupsi Rp2 triliun.
Pertimbangan majelis hakim meskipun perbuatan yang dilakukan Sudjiono Timan
terbukti, namun itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perdata sehingga
diputuskan untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum atau onslag.
Diungkapkan majelis hakim dalam putusannya
bahwa dari fakta-fakta dan keterangan saksi-saksi yang terungkap dalam
persidangan ternyata tindakan terdakwa yang menyalurkan dana pinjaman kepada
sejumlah perusahaan besar tidak pernah mendapat tentangan, baik di dalam RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham), kata majelis hakim dalam putusannya setebal 400
halaman, maupun dari menteri keuangan dalam bentuk teguran-teguran menyangkut
kebijakan bisnis terdakwa dalam mengelola PT BPUI. Padahal, tegas majelis
hakim, sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan mengenai perseroan,
rapat umum pemegang saham berfungsi sebagai pengawas tertinggi di dalam
mengontrol segala tindakan dan kebijakan bisnis direksi perusahaan.
Oleh karena itu hakim memutuskan juga untuk memulihkan
hak terdakwa dituntut jaksa penuntut umum Budiman Rahardjo, SH, agar dijatuhi
hukuman delapan tahun penjara, denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan
dan diperintahkan membayar kerugian negara Rp 1 triliun. Sementara Kapuspenkum
Kejagung Barman Zahir, SH, kepada pers menanggapi putusan hakim menyatakan
jaksa pasti akan mengajukan kasasi ke MA. Dia mengakui putusan hakim pengadilan
negeri Jaksel itu bukan bebas murni atau vrijsprak tapi melainkan onslag
atau perbuatan ada tapi bukan merupakan tindak pidana.
Dikabulkannya PK Sudjiono Timan itu membuat
suasana kebatinan MA terguncang. Hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun tegas menyatakan
putusan tersebut cacat. Menurutnya, Putusan PK Sudjiono Timan batal demi hukum
dan bisa diajukan kembali sesuai KUHAP. Dalam persidangan permohon PK ini di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sebagai pengadilan asal dengan
jelas terungkap bahwa Timan tidak hadir dan dalam status daftar pencarian orang
(DPO). Pengajuan PK hanya dihadiri oleh kuasa hukum dan istrinya.
Sebagai lembaga pengawas tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan, maka MA diminta Gayus untuk membentuk tim eksaminasi
terhadap penerapan hukum acara pada putusan Timan. Tetapi bukan mengeksaminasi
substansi perkaranya yang menjadi wilayah independensi majelis hakim. Menurut
Gayus, apabila ternyata pada putusan PK tersebut terjadi kesalahan penerapan
hukum acara seperti apa yang diatur pd Pasal 263 dan 268 KUHP, termasuk
penerapan Surat Edaran MA (SEMA) No 1/2012 yang merupakan revisi terhadap SEMA
sebelumnya. Menurut Gayus yang merupakan guru besar Universitas Krisnadwipayana,
bahwa tentu SEMA yang bersifat aturan internal MA tidak boleh mereduksi
ketentuan UU atau pun menambah norma baru yang bertentangan dengan pasal-pasal
UU yang telah ada yaitu KUHAP untuk dilaksanakan oleh majelis hakim. Di mana
dasar Putusan hakim harus menggunakan hukum formil dan hukum materiil yang
keduanya sama-sama bersifat imperatif atau memaksa hakim dalam memutus sebuah
perkara.
Sementara itu mantan Ketua MA Harifin Tumpa
mempersoalkan komposisi majelis hakim PK Sudjiono Timan. Menurut Harifin,
majelis PK perkara Sudjiono Timan tidak sesuai prosedur. Menurutnya komposisi
majelis hakim di tingkat PK seharusnya diisi dengan dua hakim agung dan tiga
hakim ad hoc, tetapi di perkara ini, diisi dengan tiga hakim agung dan dua
hakim ad hoc.
Dengan demikian Harifin menilai PK ini telah
cacat sejak diajukan permohonannya. Menurutnya, UU Tipikor itu mengatur bahwa
hakimnya itu harus tiga ad hoc dan dua hakim agung. Sedangkan dalam perkara
ini, tiga hakim agung dan dua hakim ad hoc. Kemudian, M Assegaf, mantan
pengacara Sudjiono Timan memberi pembelaan. Menurut Assegaf, putusan Mahkamah
Agung (MA) dalam sidang PK yang melepaskan Timan sangat wajar. Dahulu di
persidangan pertama di pengadilan negeri, putusan lepas juga diberikan karena
keterangan Marie Muhammad. Assegaf saat itu membela Timan bersama Amir
Syamsuddin (Kini Menteri Hukum dan HAM). Namun untuk PK ini, dia dan Amir tak
lagi memegang. Juga sudah tak kontak dengan Timan.
Terdapat perbedaan pendapat antara hakim dan
jaksa dalam kasus ini, dimana Jaksa berpendapat terdakwa telah melakukan
perbuatan melawan hukum atau menyalahi ketentuan dan prosedur di dalam
menyalurkan pinjaman karena tanpa komitmen dan jaminan dari pihak peminjam.
Menurut juru bicara Kejagung ini, terdakwa menyalurkan pinjaman begitu saja
tanpa adanya suatu jaminan dan perjanjian, namun setelah ada pemeriksaan dan
pengawasan dari Bank Indonesia baru dibuat perjanjian-perjanjian itu. Hakim
menilai dengan adanya perjanjian itu berarti masalahnya masuk ruang lingkup
perdata. Sementara jaksa, melihatnya pada saat terjadinya penyaluran pinjaman
dana itu yang tidak memenuhi prosedur.
Menganai apakah ada celah hukum atau hakim
bermain dalam perkara bebasnya Sudjiono Timan, Mahkamah Agung (MA) menampilkan
salinan berkas putusan PK Sudjiono Timan yang didalamnya terdapat alur berpikir
para hakim yang memeriksa perkara tersebut. Salinan berkas putusan tersebut
antara lain menjelaskan bahwa:
· Majelis PK mengabulkan PK yang diajukan oleh
istri Sudjiono Timan, Fanny Barki Timan. Putusan dibuat pada Rabu, 31 Juli 2013
oleh majelis yang terdiri dari Suhadi (ketua), Andi Samsan Nganro, Abdul Latif,
Sophian Marthabaya, dan Sri Murwahyuni. Hakim PK menegaskan posisi istri
sebagai ahli waris yang berhak mengajukan PK. Menurut hakim, Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud dengan ahli waris yang
berhak mengajukan PK. Namun dalam sistem hukum Indonesia, selain anak yang
merupakan ahli waris dari orang tua, istri juga merupakan ahli waris dari
suami. Menurut hakim, makna ahli waris dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP itu bukan
dimaksudkan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana
melainkan ditujukan terhadap orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai
ahli waris terpidana yang berhak mengajukan PK. Menurut hakim, baik terpidana
maupun ahli waris mempunyai kedudukan yang sama untuk mengajukan PK tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak; apalagi undang-undang
tidak memberikan prioritas antara terpidana dan ahli waris untuk mengajukan PK.
Dalam kasus Timan, istrinya hadir pada sidang pemeriksaan PK di PN Jakarta
Selatan pada 20 Februari 2012 dan 29 Februari 2012. Alhasil secara formil
permohonan PK itu dapat diterima. Namun, hakim PK Sri Murwahyuni mengajukan
pendapat berbeda. Menurut dia, pengajuan PK oleh istri Timan secara formil
tidak dapat diterima. Apalagi tidak ada keterangan bahwa Timan meninggal dunia
sehingga tidak ada alasan Timan untuk tidak menjalankan pidana 15 tahun penjara
dan hartanya dirampas negara
· Hakim menegaskan perbuatan Timan bukan merupakan korupsi. Alasannya antara lain menurut hakim PK, majelis kasasi hanya mempertimbangkan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif tanpa mempertimbangkan unsur pokok lainnya. Timan tidak cukup dinyatakan melakukan korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela melainkan perlu dibuktikan apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur tipikor dalam arti melawan hukum secara formil. Nyatanya, menurut hakim PK, majelis kasasi hanya membuktikan Timan melanggar aturan internal perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) seperti anggaran dasar, surat ketetapan investasi, dan perjanjian bisnis lainnya. Konsekuensinya, aliran dana dalam perkara itu masuk dalam koridor hubungan keperdataan dan bukan pidana. Menurut hakim PK adalah kekeliruan yang nyata kalau hakim membebankan uang pengganti kepada Timan sejumlah utang para debitur yakni sebesar US$98 juta (Rp1,08 triliun) dan Rp369 miliar.
· Hakim menegaskan perbuatan Timan bukan merupakan korupsi. Alasannya antara lain menurut hakim PK, majelis kasasi hanya mempertimbangkan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif tanpa mempertimbangkan unsur pokok lainnya. Timan tidak cukup dinyatakan melakukan korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela melainkan perlu dibuktikan apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur tipikor dalam arti melawan hukum secara formil. Nyatanya, menurut hakim PK, majelis kasasi hanya membuktikan Timan melanggar aturan internal perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) seperti anggaran dasar, surat ketetapan investasi, dan perjanjian bisnis lainnya. Konsekuensinya, aliran dana dalam perkara itu masuk dalam koridor hubungan keperdataan dan bukan pidana. Menurut hakim PK adalah kekeliruan yang nyata kalau hakim membebankan uang pengganti kepada Timan sejumlah utang para debitur yakni sebesar US$98 juta (Rp1,08 triliun) dan Rp369 miliar.
Kejanggalan dalam bebasnya
Sudjiono Timan menyebabkan Komisi Yudisial memanggil lima hakim pemutus bebas
terpidana Sudjiono Timan yaitu Abdul Latief, Suhadi, Andi Samdan Nganro, Sofyan
Marthabaya dan Murwahyuni. Namun, empat dari lima hakim pemutus bebas terpidana
korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sudjiono Timan mangkir dari
panggilan pemeriksaan Komisi Yudisial pada Jumat kemarin. Empat hakim agung
yang belum bersedia untuk diperiksa itu adalah Suhadi, Andi Samdan Nganro,
Sofyan Marthabaya dan Murwahyuni.
Komisioner Komisi Yudisial
Taufiqurrahman Sahuri mengatakan dari lima hakim agung majelis Peninjauan
Kembali (PK) perkara Sudjiono Timan, hanya Abdul Latief yang sudah
mengonfirmasi bersedia diperiksa. Sedangkan empat hakim lainnya belum
menginformasi kehadirannya.
Namun Abdul Latief yang
sebelumnya bersedia diperiksa di gedung Komisi Yudisial, berubah pikiran saat
hari H dan meminta diperiksa di gedung Mahkamah Agung. Bagi KY, kata dia,
pemeriksaan dilakukan di mana saja tidak menjadi masalah. Sebelumnya para hakim
agung yang menyidangkan PK itu dijawalkan diperiksa pukul 10.00 WIB di kantor
KY. Namun, tempat pemeriksaan ini bisa dilaksanakan di gedung Mahkamah Agung
(MA) yang waktunya disesuaikan oleh MA.
Pemeriksaan Komisi Yudisial
terhadap sejumlah hakim agung itu terkait dengan dugaan pelanggaran Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam putusan PK yang membuat Sudjiono bebas
dari segala jeratan hukum. Padahal yang bersangkutan sendiri saat ini dalam status
buronan aparat hukum karena melarikan diri saat akan dieksekusi berdasar
keputusan kasasi Mahkamah Agung.
Ketua Bidang Pengawasan
Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Eman Suparman mengatakan agenda
pemeriksaan keempat hakim tersebut gagal dilakukan kembali. Salah satu utusan
hakim mendatangi gedung Komisi Yudisial dengan permohonan maaf serta meminta Komisi
Yudisial untuk menjadwal ulang.
Meski belum berhasil
memeriksa hakim tersebut tetapi Komisi Yudisial telah mengantongi sejumlah
bukti pelanggaran yang dilakukan para hakim Komisi Yudisial yang mengabulkan
permohonan Sudjiono. Menurutnya, tanpa pemeriksaan, Komisi Yudisial juga sudah
bisa memutuskan hasilnya, tapi pihaknya tetap akan meminta keterangan terlebih
dahulu dari para hakim agung yang menjadi majelis PK Sudjiono.
Eman mengungkapkan, Komisi
Yudisial sudah mengantongi data, informasi, dan fakta yang didapat dari hasil
investigasi selama ini. Bahkan, Komisi Yudisial menemukan fakta baru dari
pengembangan kasus dugaan pelanggaran KEPPH dalam proses putusan PK yang
diajukan Sudjiono Timan. Diantaranya, adanya sejumlah hakim yang kerap
mondar-mandir dari Jakarta - Singapura. Tercatat salah satu hakim yang dimaksud
sudah 18 kali pergi ke Singapura dalam kurun waktu hanya 3 bulan, yaitu dari
Juni hingga Agustus 2013. Pada periode bulan yang sama, hakim lainnya juga
terbang ke Singapura sebanyak 7 kali. Rentang waktu mereka ke Singapura itu
bersamaan dengan tengah diprosesnya PK yang diajukan Sudjiono. Bahkan ada hakim
yang setiap kali berada di Singapura hanya beberapa jam saja. Terbang dari
Jakarta ke Singapura pukul 08.00 WIB dan di hari yang sama mendarat kembali di
Jakarta pukul 14.00 WIB.
Sementara itu Ketua Mahkamah
Agung (MA) Hatta Ali sebelumnya mengaku, pihaknya telah melakukan pemeriksaan
atas hakim dan proses pengambilan putusan PK yang membebaskan koruptor Sudjiono
Timan dalam paparan media di Gedung MA, Jakarta Pusat, 3 Desember 2013.
Namun, Hatta Ali mengakui,
Tim MA menemukan sedikit kesalahan, yakni putusan dibuat setelah Surat Edaran
MA (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara
Pidana. SEMA mengatur, permohonan hanya dapat diajukan bila dihadiri terpidana
atau ahli waris. Ia berkesimpulan, meskipun PK didaftarkan pada Januari 2012,
sebelum SEMA diterbitkan pada 28 Juni 2012, putusannya dibacakan setelah
penerbitannya.
B.
ALASAN
TERJADINYA KORUPSI
Korupsi
PT BPUI oleh Sudjiono Timan terjadi Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan
bahwa terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian (prudential principle)
dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa
terdakwa bersama-sama dengan Direksi PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due dilligence (pemeriksaan kelayakan
pemberian pinjaman) terhadap Kredit Asia Finance Limited ( selanjutnya disebut
KAFL) dan perusahaan lainnya seperti Festival Company Incorporated, PT.
Pramawira Insan Persada, PT.ELOK UNGGUL, dan Penta Investment Limited.
Selain itu, jajaran direksi BPUI ternyata
diberi posisi atau jabatan pada PT Dragon Oil sebagai nonexecutive director.
Bahkan, ada yang diberi hak memiliki 25 juta lembar saham PT Dragon Oil. PT
Dragon Oil merupakan salah satu anak perusahaan Grup Medco. Akibatnya Negara
menanggung akibat tidak terlunasinya sebagian utang senilai USD 52,192 juta.
C.
KETERLIBATAN
PENGUASA
Kasus
Sudjiono Timan tidak terlepas dari bantuan tangan beberapa penguasa yang
diantara lain adalah:
1)
Keterlibatan 3 (tiga) perwira polisi dari National Central Bureau (NCB) dalam
penerbitan paspor Sudjiono Timan yang dibenarkan oleh Mabes Polri. Bahkan paspor yang diterbitkan itu, menurut
Menkum dan HAM Hamid Awaluddin telah mendapatkan visa multiple selama 5 tahun
dari beberapa negara, yakni AS, Inggris dan Eropa Barat.
2)
Keanehan yang
terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) yaitu dengan dikabulkan nya Peninjauan
Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung dengan memvonis bebas Sudjiono Sutiman,
padahal PK tidak memenuhi syarat. Karena berdasarkan KUHAP 265 ayat 2 yang
dapat mewakili terdakwa dalam mengajukan PK adalah ahli waris. Sedangkan, saat
itu istri Sudjiono belum menjadi ahli waris karena keberadaan Sudjiono tidak
jelas (belum meninggal dunia). Ahli Waris Di dalam Kasus ini Pemohon Peninjauan
kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat
diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian. Dalam Pasal 263 ayat
(1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli
Warisnya. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Istri dari Sudjiono Timan berhak
mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tidak ada
penjelasan lebih lanjut di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Selain itu Mahkamah
Agung menggunakan pendapat Yahya Harahap yang mengatakan bahwa hak ahli waris
untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan hak substitusi
melainkan hak orisinil dari ahli waris. Menurut sistem hukum perdata Indonesia
yang berlaku, penentuan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah
ketika pewaris meninggal dunia dan calon ahli waris memiliki hubungan waris
dengan pewaris. Bagaimana pun juga bila pewaris belum meninggal dunia, maka
ahli waris tidak bisa melakukan perbuatan hukumnya atas apa yang ditinggalkan
oleh pewaris. Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menyatakan secara jelas mengenai
kedudukan ahli waris sebagai subsitusi dengan menggunakan frasa atau bukan
frasa, artinya ahli waris dapat menggantikan permohonan pengajuan Peninjauan
Kembali apabila terdakwa telah meninggal dunia.
3)
Komisi Yudisial
(KY) beberapa kali mencoba mengendus berbagai laporan kejanggalan di Mahkamah
Agung (MA), dari dugaan suap hingga perilaku para hakim agung di balik lepasnya
koruptor Rp 1,2 triliun, Sudjiono Timan tetapi tidak juga menemukan titik
terang.
4)
Komisi Yudisial menemukan keanehan
diantaranya sejumlah hakim yang kerap mondar-mandir dari Jakarta - Singapura.
Tercatat salah satu hakim yang dimaksud sudah 18 kali pergi ke Singapura dalam
kurun waktu hanya 3 bulan, yaitu dari Juni hingga Agustus 2013. Pada periode
bulan yang sama, hakim lainnya juga terbang ke Singapura sebanyak 7 kali.
Rentang waktu mereka ke Singapura itu bersamaan dengan tengah diprosesnya PK
yang diajukan Sudjiono. Bahkan ada hakim yang setiap kali berada di Singapura
hanya beberapa jam saja. Terbang dari Jakarta ke Singapura pukul 08.00 WIB dan di
hari yang sama mendarat kembali di Jakarta pukul 14.00 WIB.
D.
HUKUMAN
Berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel.,
tertanggal 25 November 2002 :
a) Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti akan
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
b) Melapaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c) Memulihkan
hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
d) Menetapkan
barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain,
sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No.
1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening
atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening
atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta,
dikembalikan kepada yang berhak.
e) Menetapkan
biaya perkara sebesar Rp. 7.500 ditanggung oleh negara.
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal 3 Desember
2004 sebagai berikut :
a. Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan;
b. Membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 Nomor :
1440/Pid.B/2001/PN. Jak.Sel : MENGADILI SENDIRI :
1) Menyatakan
bahwa Terdakwa Sidjiono Timan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;
2) Menghukum
terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima
belas) tahun ;
3) Menetapkan
masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan dri seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan ;
4) Menghukum
pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00.-(limaa puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka kepada
terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan ;
5) Menghukum
pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
sebesar US$ 98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta dolar Amerika Serikat)
dan Rp 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus
empat puluh enam empat puluh enam juta sembilan ratus enam ribu seratus lima
belas rupiah).
Tetapi pada akhirnya Majelis hakim yang
diketuai IDG Putra Djadnya, SH, Senin (25/11) di pengadilan negeri Jaksel
akhirnya membebaskan terdakwa mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia
(BPUI) Sudjiono Timan dari dakwaan dan tuntutan hukum dalam kasus korupsi Rp 2
triliun. Pertimbangan majelis hakim meskipun perbuatan yang dilakukan Sudjiono
Timan terbukti, namun itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perdata
sehingga diputuskan untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum atau onslag.
Diungkapkan majelis hakim dalam putusannya
bahwa dari fakta-fakta dan keterangan saksi-saksi yang terungkap dalam
persidangan ternyata tindakan terdakwa yang menyalurkan dana pinjaman kepada
sejumlah perusahaan besar tidak pernah mendapat tentangan, baik di dalam RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham), kata majelis hakim dalam putusannya setebal 400
halaman, maupun dari menteri keuangan dalam bentuk teguran-teguran menyangkut
kebijakan bisnis terdakwa dalam mengelola PT BPUI. Padahal, tegas majelis
hakim, sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan mengenai perseroan,
rapat umum pemegang saham berfungsi sebagai pengawas tertinggi di dalam
mengontrol segala tindakan dan kebijakan bisnis direksi perusahaan.
Disisi lain, menurut Majelis PK, perbuatan
Sudjiono Timan masuk ranah perdata bukan pidana. Dia memang terbukti
menghilangkan keuangan negara (BLBI) tetapi bukan atas nama pribadi melainkan
korporasi (PT BPUI). Suhadi mengatakan Sudjiono melanggar asas kepatutan
sebagai Dirut PT BPUI yang meminjamkan uang dari dana BLBI kepada perusahaan
lain yakni Festival Company Inc. sebesar USD67 juta (Rp743 miliar), Penta
Investment Ltd sebesar USD19 juta (Rp210 miliar), KAFL sebesar USD34 juta
(Rp377 mikiar), dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp98,7 miliar sehingga negara
mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan USD98,7 juta (Rp1
triliun), yang akhirnya tidak kembali karena perusahaan-perusahaan itu bangkrut
akibat krisis 1998. Menurut Majelis PK, pinjaman itu bukan atas nama Sudjiono
Timan pribadi melainkan PT BPUI.
E.
SARAN
DAN REKOMENDASI
Saran yang dapat saya berikan adalah sebagai
berikut:
1)
Sebaiknya pemerintah dalam melakukan seleksi
untuk calon hakim maupun calon jaksa benar – benar mempertimbangkan bukan hanya
kemampuan secara akademik tetapi juga mempertimbangkan moral, spiritual, dan
catatan kejahatannya. Sehingga dengan ini diharapkan tidak ada lagi hakim atau
jaksa yang mengesampingkan keadilan karena suap, atau ketidakberanian dalam
menggali lebih dalam mengenai kasus yang ditangani. Selain itu, pemerintah juga
hendaknya melakukan diklat dan seminar antikorupsi bagi para hakim dan jaksa
agar memiliki mindset bahwa korupsi
bukan lah tindak kejahatan yang baik.
2)
Sebaiknya tersangka korupsi diberikan hukuman
yang berat berapapun nominal atau setinggi apapun jabatannya agar apabila
bebas, tersangka tidak lagi melakukan perbuatan tersebut. Selain itu hukuman
yang berat juga dapat membuat calon koruptor berpikir ulang sebelum mereka
melakukan tindakan korupsi.
3)
Sebaiknya dalam menangani kasus khususnya
yang sedang dibahas adalah kasus korupsi, agar Mahkamah Agung dan Aparat
lainnya segera menuntaskan masalah yang terjadi dan jangan memberikan
kesempatan bagi tersangka maupun keluarga tersangka untuk mengulur waktu
seperti yang dilakukan oleh istri tersangka Sudjiono Timan dengan mengajukan
Peninjauan Kembali (PN).
4) Menurut
saya, ada kelemahan dalam
ketentuan pengajuan PK yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.1/2012
dan Pasal 263 KUHAP. Dimana dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak
dijelaskan apakah seorang buronan bisa mengajukan PK, juga “definisi”
ahli waris yang menurut UU bisa mengajukan PK tidak jelas statusnya
apakah telah sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Sebagian hakim
menyebut ahli waris hanya bisa mengajukan PK jika terpidana meninggal, yang
lain menyatakan tidak perlu terpidana meninggal. Seharusnya untuk memastikn
status hukum, hakim berani menyatakan, pengajuan PK oleh ahli waris hanya bisa
diterima jika terpidana telah meninggal karena hakim memiliki kekuasaan untuk
menemukan hukum (recht vinding). Selain itu, saya juga mempertanyakan novum
yang diterima majelis hakim. Jika vonum mengacu pada pengertian bukti baru yang jika bukti itu dulu muncul di
persidangan maka terdakwa akan dibebaskan, maka apakah putusan MK
bisa disebut novum? Karena secara logika hukum, mestinya itu tak bisa
dipakai.
5) Menurut
saya, Vonis bebas Sudjiono
memang sangat patut dicurigai. Dan saya sangat berharap meskipun kasus ini
sudah berlalu lama tetapi sebaiknya kasus ini kembali diangkat ke meja hijau
karena bebasnya Sudjiono Timan sangatlah tidak wajar, bisa jadi ada campur
tangan mafia peradilan atau pihak lain yang berkuasa.
F.
KESIMPULAN
Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9
Mei 1959) adalah
seorang pengusaha asal Indonesia. Dari
tahun 1995 hingga 1997 ia
menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Sebelumnya,
Timan dianggap menyalagunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan
cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS,
Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS,
dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami
kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan 98,7 dolar singapura. Perbuatan
yang dilakukan oleh Terdakwa berlangsung dari tahun 1995 secara bersama-sama
dan berlanjut hingga tahun 1998. Jenis perbuatan korupsi yang dilakukan Sudjiono Timan yaitu
perbuatan melawan hukum materil memperkaya diri sendiri, dan perbuatan
menyalahgunakan wewenang.
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan
dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana.
Menanggapi vonis bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke
tingkat MA. Pada Jumat, 3
Desember 2004,
Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir
Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara,
denda Rp 50.000.000,- , dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Perkara kasasi Sudjiono ini diputuskan pada 3
Desember 2004. Saat jaksa akan mengeksekusi putusan kasasinya pada 7 Desember
2004, Sudjiono sudah kabur. Padahal, saat itu, dia sudah dikenakan pencekalan,
bahkan paspornya sudah ditarik. Oleh karena itu terpidana Sudjiono Timan tidak
dapat dieksekusi badan sesuai putusan MA yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap itu karena melarikan diri alias buron.
Atas putusan PK yang dikabulkan oleh MA,
Ketua Majelis Suhadi mengatakan sejumlah dasar PK yang menjadikan hukuman
terhadap Sudjiono Timan kembali ke putusan PN Jaksel, yakni lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Kemudian istri Sudjiono
Timan selaku ahli waris mengajukan Peninjauan Kembali di tingkat MA. Majelis
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 13
Juli 2013 menilai
terdapat kekeliruan dalam putusan kasasi dan melepaskan Sudjiono Timan dari
segala tuntutan hukum.
DAFTAR PUSTAKA