KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat
taufik dan hidayah-Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Makalah saya ini
membahas tentang “Sejarah Perbankan Syariah”, didalam Makalah ini saya mencoba
menguraikan mengenai apa itu Perbankan Syariah dan bagaimana Sejarah Perbankan
Syariah baik di dunia maupun di Indonesia.
Penulis menyadari
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan
penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari
Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari
berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis berharap
dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
Bekasi, 27 Maret 2015
Penyusun
PEMBAHASAN
Pengertian Perbankan Syariah
Perbankan syariah adalah suatu sistem
perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam atau hukum syariah. Pembentukan sistem
ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan
mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan
untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya,
misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram,
usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun
prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah
perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank
Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembagakomersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.
Sejarah Perkembangan Perbankan Secara Umum
Sejarah
panjang kelahiran Bank Syariah pada abad ke-20 tidak terlepas dari hadirnya dua
gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan
modernis. Sekitar tahun 1940-an, dimana para cendikiawan islam seperti Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952) mengemukakan konsep dasar bagi
hasil, yang sesuai dengan syariat islam ke dalam tulisan-tulisan yang mereka
buat. Pemaparan yang lebih lengkap mengenai konsep-konsep dasar tentang
perbankan syariah ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi
(1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Bank dengan konsep syariah, secara kelembagaan pertama
kali didirikan pada tahun 1963 di Mesir, dengan nama Myt-Ghamr Bank. Pemimpin perintis usaha ini adalah
Ahmad El Najjar, yangpermodalannya
dibantu oleh Raja F aisal dari Arab Saudi. Myt-Ghamr Bank dinilai sukses
menggabungkan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip-prinsip muamalah
berdasarkan syariat Islam, dengan meng-aplikasikannya dalam pelayanan produk
bank yang efektif dan sesuai untuk daerah pedesaan, yang hampir seluruh
industrinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik yang
tidak mendukung, pada tahun 1967 Myt-Ghamr Bank ditutup . Kemudian untuk
menggantikan Myt-Ghamr Bank, pada tahun 1971, di buat kembali
Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, namun tujuan dari bank ini lebih
bersifat sosial daripada komersil.
Perkembangan Bank Syariah memasuki fase yang baru pada
tahun 1974. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konfrensi Islam
bersepakat mendirikan sebuah institusi keuangan yang menyediakan jasa
finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggota OKI. Maka
didirikanlah Islamic Development Bank (IDB). Walaupun utamanya IDB adalah
bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek
pembangunan di negara-negara anggotanya, tetapi dalam prakteknya bank ini menerapkan
prinsip-prinsip dasar syariat dalam mengelola keuangannya, dengan menghilangkan
unsur bunga di dalam pelayanannya. hal ini mengukuhkan IDB sebagai institusi
keuangan internasional yang berbasiskan syariah.
Pada tahun 1975, didirikan Bank syariah swasta pertama di
dunia di kota Dubai, yang diberi nama Dubai Islamic Bank. Pendirian bank ini
didanai oleh sekelompok pengusaha muslim dari berbagai negara. Hal ini diikuti
dengan didirikannya beberapa bank syariah di negera-negara lainnya
sepertiFaysal Islamic Bank (1977) di Mesir dan Sudan, dan Kuwait
Finance House yang diprkarsai oleh pemerintahan Kuwait. Sejak saat itu
mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan,
negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki.
Sedangkan di Indonesia
sendiri, perkembangan Bank Syariah di mulai pada tahun 1991, dengan didirikannya Bank Muamalat
Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha muslim.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega
Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah
19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia
(Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Dan kini sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat yang
telah berkembang hingga 104 BPR Syariah.
A. Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah
Wujud Realisasi Visi Islam Ramatan Lil ‘Alamin
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya
menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik
modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan
ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang
kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan
mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan
tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi
tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya
Allah di kehidupan sesudah
kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik,
adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa
visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada
sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan
menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi
tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak.
Dan sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai,
berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan
untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu
bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan Masrhal[1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia,
yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah
ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu
dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd).
Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan
kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT.
Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi antara dua hal,
yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat
Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana
visi Islam direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan
ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi
sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu
wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.
B. Perkembangan Pemikiran
Teori Ekonomi Islam
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari
diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS.
Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat
282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS.
Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian,
penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam
telah menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW)
dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin).
Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga
teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial
dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi
visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari
sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah
SAW. Tahap
Kedua (656-661M), pemikiran
ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili
Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf
(798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I
(820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M),
Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M),
Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin
Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih
(1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir
Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M),
Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M),
Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M),
Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al
Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani
(1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu
Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah
Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al
Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu
Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad
Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider
Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr,
Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di
atas sebagai berikut:
1.
Zaid bin Ali
(80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara
kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
2.
Abu Hanifah
(80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang
sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak
jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’
al-salām dan ah%al-murābah.[6]
3.
Al-Awza’i
(88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari
Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas
orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan
dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan
membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7]
4.
Imam Malik Bin Anas
(93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama
kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki
pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum
Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori
utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy
Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang
mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan
bersama.[8]
5.
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.).
Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan
panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H)
Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta
perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[9] Ia pun dikenal sebagai
penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda
dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan
dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni
Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang
menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena
itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur,
al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10]Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi
adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka
pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan
mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli
ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada
pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan
harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci
dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan
tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan
pemerintah wajib melakukanya.[11]
6.
Al-Farabi (260-339
H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan
ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau
negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara
primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa
as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara
bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu
al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis;
Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
7.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin
Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd,
al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m
‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas
rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan
sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika
pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab
pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan
bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan
bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya
yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya
dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya,
yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas
rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan
bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang
pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan
amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia
berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat
yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah
manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau
menetapkan dan memutuskan hukum.[13] Abu ‘Ubayd seolah-olah
ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab
pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian
tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab
berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat
atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan
rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisannya
dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan
kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya
adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam.
8.
Ibnu Sina (270-428
H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain: a) manusia adalah makhluk
berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c) perkembangan ekonomi melalui
perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d)
ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan
kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan
kestabilan ekonomi harus dijaga; e) Prinsip yang lain adalah arta milik berasal
dari warisan dan hasil kerja; f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi
menurut jalannya yang sah; g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan
anggaran; h) pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus
dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan
negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas; i)
setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya
pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[14]
9.
Abu Hamid al-Ghazali
(450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta
pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa: a) perkembangan ekonomi
bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan
pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence; b) perkembangan ekonomi
perlu adanya transportasi; c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;
d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan
jasa di antara manusia; e) perlu adanya pemerintah; f) mata uang negara Islam;
g) perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba; i) Dua jalur
transaksi perbankan, pribadi dan negara.[15]
10.
Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis
al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[16] adalah pakar dari kubu
Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan
untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur
al-dunyawiyyah). Jika kita amati,
persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak
bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak
kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara
spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami)
secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di
dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta,
perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang
kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11.
Tusi (1201-1274). Tusi
adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan
bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan
alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak
akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang
bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan
profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya
sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang
menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala
kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa,
sehingga mereka mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling
membantu. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan
sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah
berbagai bentuk kontrak sosial.
12.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328).
Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa
al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana
amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha.
Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni
oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah
maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan
dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi
pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat
kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian,
seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir
yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem
maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan
ketatanegaran.[17]
13.
Ibn Khaldun (1332-1406).
Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun
demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun
kitabnya, al-Muqaddimah,[18] tidak membahas bidang ini
dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia
mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi. Ia
dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan
manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika”
telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan
normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang
digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum
ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia
melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial,
etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar,
yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap
teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas
perdagangan, sistim harga dsb. Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan
dengn penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo
klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam
dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para
profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang
telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan
tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah
diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas
Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[19]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang
menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan
pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo,
Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan
perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang
mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3
ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997),
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan
Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga pendidikan tinggi tersebut berkembang
sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai wacana ekonomi Islam di
Indonesia. Secara de jure,
Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag
adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan
ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN,
UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka konsentrasi
atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka
dalam seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi,
ikatan profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian
dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di
Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister
Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan
Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan
melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian Intensif yang
diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004, Pusat Pengkajian
Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang
menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005,
Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium Internasional
Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, di Medan Sumatera
Utara.
C. Perkembangan Praktik
Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah
terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama
opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang
atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan
musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh
di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris
credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser
menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit
perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh
perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah
bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah
terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah
dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada
zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu
saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan
kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus
bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai
keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[20] yang kemudian menjadi cikal
bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada
pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932).[21] Sementara itu, suq (cek)
digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat
Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk
keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[22]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem
perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan
ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non
bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan
lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif
sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank
tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun,
keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah
Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank
of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971)
sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank.
Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah
Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975.[23] Kini IDB memiliki lebih
dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa
dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian
Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi
dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi
Khilafah tahun 1924[24] dan upaya menghidupkanya
kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata
lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya
pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu
ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur.
Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi
negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi Islam III yang
diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[25] Hasilnya, sejumlah
pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di
universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga
pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem
Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan
oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini
terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan
dan perbankan Islam.[26] Kecenderungan ini
dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol
para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk
Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan
keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan
embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan
Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat
menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat;
kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan
kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang
menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan
syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan
pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI
semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya,
yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada
tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam
Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala
Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya.
Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[27]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969
memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di
berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi
syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan
sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic
Development Bank (IDB).
D. Gerakan Ekonomi Islam
di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam
Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan
aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua
franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara,
ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai
transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh
orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak
kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa
aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi
dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun
demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah
nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu,
nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan
syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam
Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian
penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia
akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan
perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap
sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan
koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.[28]Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan
pendirian bank syariah yang relatif sukses.[29] Walaupun lahirnya
kedahuluan oleh Philipina[30], Denmark[31], Luxemburgdan AS[32], akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan
nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari
semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang
melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga
keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan politik atau political will dari
pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi
dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun
1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning
jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri
Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji
kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal
saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN
menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi
dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di
Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para
pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah
bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya
mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil
dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di
lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank
konvensional milik pemerintah.[33] Terlepas dari kekurangan
dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah
memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda
perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun
1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang
mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi
hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang
melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan
syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia,
yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank
syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan
panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan
syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari
lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi
seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk
memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah
banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah.
Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran
al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber
hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari
empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional.
Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi
metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat
terhadap fatwa-fatwa itu.[34]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia
bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank
syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya
mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998,
disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7
tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui
sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga
keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan
sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli
1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11
bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober
2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank
konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank
sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa
bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang
secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain
bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan
bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI
Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah,
BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang
bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal
wat-Tamwil).
SUMBER
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Sejarah-Ekonomi-Islam-Perkembangan-Panjang-Realitas-Ekonomi-Islam.html
0 comments:
Post a Comment