Saturday, April 25, 2015

Makalah Sejarah Perbankan Syariah

Posted by Nova Pungki Nisako at 4:18 AM

KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah saya ini membahas tentang “Sejarah Perbankan Syariah”, didalam Makalah ini saya mencoba menguraikan mengenai apa itu Perbankan Syariah dan bagaimana Sejarah Perbankan Syariah baik di dunia maupun di Indonesia.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari  berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.



Bekasi, 27 Maret 2015

Penyusun


PEMBAHASAN

Pengertian Perbankan Syariah

Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam atau hukum syariah. Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembagakomersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.

Sejarah Perkembangan Perbankan Secara Umum
Sejarah panjang kelahiran Bank Syariah pada abad ke-20 tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis. Sekitar tahun 1940-an, dimana para cendikiawan islam seperti Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952) mengemukakan konsep dasar bagi hasil, yang sesuai dengan syariat islam ke dalam tulisan-tulisan yang mereka buat. Pemaparan yang lebih lengkap mengenai konsep-konsep dasar tentang perbankan syariah ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).

Bank dengan konsep syariah, secara kelembagaan pertama kali didirikan pada tahun 1963 di Mesir, dengan nama Myt-Ghamr Bank. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar, yangpermodalannya dibantu oleh Raja F aisal dari Arab Saudi. Myt-Ghamr Bank dinilai sukses menggabungkan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip-prinsip muamalah berdasarkan syariat Islam, dengan meng-aplikasikannya dalam pelayanan produk bank yang efektif dan sesuai untuk daerah pedesaan, yang hampir seluruh industrinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik yang tidak mendukung, pada tahun 1967 Myt-Ghamr Bank ditutup . Kemudian untuk menggantikan Myt-Ghamr Bank, pada tahun 1971,  di buat kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, namun tujuan dari bank ini lebih bersifat sosial daripada komersil. 

Perkembangan Bank Syariah memasuki fase yang baru pada tahun 1974. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konfrensi Islam bersepakat mendirikan sebuah institusi keuangan yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggota OKI. Maka didirikanlah Islamic Development Bank (IDB). Walaupun utamanya IDB adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya, tetapi dalam prakteknya bank ini menerapkan prinsip-prinsip dasar syariat dalam mengelola keuangannya, dengan menghilangkan unsur bunga di dalam pelayanannya. hal ini mengukuhkan IDB sebagai institusi keuangan internasional yang berbasiskan syariah.  

Pada tahun 1975, didirikan Bank syariah swasta pertama di dunia di kota Dubai, yang diberi nama Dubai Islamic Bank. Pendirian bank ini didanai oleh sekelompok pengusaha muslim dari berbagai negara. Hal ini diikuti dengan didirikannya beberapa bank syariah di negera-negara lainnya sepertiFaysal Islamic Bank (1977) di Mesir dan Sudan, dan Kuwait Finance House yang diprkarsai oleh pemerintahan Kuwait. Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. 

Sedangkan di Indonesia sendiri, perkembangan Bank Syariah di mulai pada tahun 1991, dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Dan kini sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat yang telah berkembang hingga 104 BPR Syariah.

A.    Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah
Wujud Realisasi Visi Islam Ramatan Lil ‘Alamin
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan  Masrhal[1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.
B. Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:
1.      Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
2.      Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan ah%al-murābah.[6]
3.      Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7]
4.      Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.).  Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[8]
5.      Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10]Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[11]
6.      Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis;   Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
7.      Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan hukum.[13] Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam.
8.      Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c) perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia berpendapat bahwa  tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga; e) Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah; g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; h) pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas; i) setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[14]
9.      Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa: a) perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence; b)  perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi; c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;  d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia; e) perlu adanya pemerintah; f) mata uang negara Islam; g) perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba; i) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[15]
10.  Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[16] adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11.  Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk kontrak sosial.
12.  Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.[17]
13.  Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[18] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi.  Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.  Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik  sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[19]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN, UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004,  Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, di Medan Sumatera Utara.
C. Perkembangan Praktik Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[20] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932).[21] Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[22]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank  tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975.[23] Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924[24] dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi  Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[25] Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.[26] Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[27]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB).
D. Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.[28]Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses.[29] Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[30], Denmark[31], Luxemburgdan AS[32], akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.[33] Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[34]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).
SUMBER

http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Sejarah-Ekonomi-Islam-Perkembangan-Panjang-Realitas-Ekonomi-Islam.html




0 comments:

Post a Comment

 

Kumpulan Makalah Kuliah Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea